JAKA:
Indah senyummu
Gelak tawamu yg merdu di telingaku
Anggun caramu mengibaskan rambut panjang itu:
yang penuh semerbak wewangian
Ceriamu yang menyapa tiap jiwa yang penat
Aku ingat, aku terkenang
Semuanya tercetak jelas di bongkahan hati
Aku menyesali kebodohanku setiap kali engkau singgah di
pikiranku
Menyia-nyiakan kasih sayangmu yang tulus tak bercela
Mengira kalau kau akan selalu ada
Demi egoku, aku melewatkanmu
Engkau dan sekeping hatimu
Engkau yang begitu hidup
Sekarang kusadari, kepergianmu adalah kematianku
Kau telah menjadi bagian hidupku
Ketika kau pergi, kau membawa separuh jiwaku pula
Tanpa kau ajarkanku caranya bertahan tanpa semangat yang
menular dari dalam sosokmu yang memesonaku
Akulah kesalahan terbesarmu
Engkaulah penyesalan terbesarku
PUAN:
Kakiku sudah melangkah dan tak akan kuhentikan
Kubiarkan diri ini berjalan menjauh darimu
Bukankah memang jalan kita tak sama?
Di satu titik kita bertemu,
Tetapi kau tidak acuh padaku
Aku hanya satu
Dari banyak perempuan di sekelilingmu
Senyummu manis,
Wajahmu tampan
Tegap gagah jalanmu mempesonaku
Kata-katamu selalu berhasil meneduhkanku
Aku ingat, aku terkenang
Semuanya tersimpan dalam peti ingatanku
Hingga pada suatu hari aku tercenung
Kesadaranku membangunkanku
Aku dipukulnya hingga mataku terbuka
"Lihat pangeranmu, dia bukan milikmu"
Dan benar,
Kau berada dalam jarak,
Bahkan kau lebih peduli pada yang lain
Jadi siapakah aku?
Tidak lebih dari pecundang,
Akulah itu
Tidak lebih dari pasukan yang kalah perang,
Ditumpas telak dalam serbuan maut,
Itulah aku
Selama ini aku dibuai oleh mimpi
Diangkat tinggi dalam harap
Hingga dihempaskan jatuh ke dasar bumi,
Oleh kenyataan
Kau bukan milikku
Dan sekarang kau terbungkus dalam sesal?
Tertelan oleh kebodohanmu sendiri?
Perlukah aku peduli?
Seperti kau yang melihatku dengan ujung matamu
Ketika aku tenggelam dalam air mata
Terhisap dalam lumpur kekecewaan
Aku pernah menginginimu,
Dulu, bukan hari ini
Pintu ini sudah tertutup
Dan kubiarkan ia terbuka untuk ksatria berkuda putih
Seorang yang lain
Bukan dirimu
***
JAKA:
Harusnya aku tak menyahut
Harusnya aku tak bergeming
Harusnya aku tak membiarkan benih cinta itu bersemi
Harusnya aku tak memupuknya, menyiramnya
Harusnya aku membiarkannya mati
Hatiku kian gersang
tak lagi dihujani kasih sayangmu
Namun langit-langitnya senantiasa dipenuhi awan mendung nan
gelap
tiada lagi matahari yang mencerahkannya
Hatiku kian kerontang
haus akan air yang menyegarkan
yang kau bawa bersamamu ketika engkau memutuskan untuk pergi
Namun langit-langitnya tetap muram
menanti turunnya rintik-rintik air mata penyesalan
Hatiku dilanda kekeringan begitu hebat
Menanti embun-embun yang menyejukkan lara
menanti kematianku yang lelas
Harusnya kau masih di sisiku
Harusnya genggamanmu tak kuabaikan
Harusnya aku berlari mengejar langkahmu yang menjauh
Harusnya ada yang menjadi 'kita'
***
PUAN:
Langit tak pernah begitu gelap
hingga aku melangkah jauh darimu
Anak-anak berlari-lari kecil di sekitarku
Mereka yang biasa kau sapa saat melewati jalan ini
Betapa indah hari itu
Ketika hati ini masih untukmu
Sampai di suatu titik dalam rentang waktu
Aku melihat kekalahanku
Mengapa kau kini mencariku?
Kau sebut namaku lagi
Setelah lama namaku terganti olehnya
Memang indah hari itu
Ketika hati ini bersemi mendengar suaramu
Melihat gelak tawamu, menepuk bahu lebarmu
Dan.. bersandar di dadamu
Bodohkah aku kalau kuhentikan langkahku,
Dan berbalik mencari seberkas bayang wajahmu?
Jika aku menghampirimu lagi,
Akankah kau remukkan hati ini untuk kedua kali?
Lelakiku, jangan biarkan dirimu meluruh
Melebur dalam kesedihan yang sia-sia
Diri ini juga tidak mampu melangkah lebih jauh
Aku akan kembali padamu
==========================================
Puisi kolaborasi Christnadi P. Hendartha dengan Novrianna G.
Carolina Hutagalung, 11 Oktober 2015. Mencoba membuat puisi kolaborasi berbalasan, laki-laki dan perempuan, tetapi penulisnya tukar gender, Christnadi menulis sebagai PUAN dan Novrianna menulis sebagai JAKA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar