Rabu, 20 Desember 2023

Let It Go (Lori True)


If your heart is filled with anger: let it go, let it go.
Kalau hatimu dipenuhi dengan amarah: tinggalkan, tinggalkan.

You lock your feelings up deep inside you: let it go, let it go.
Kau kunci rapat-rapat perasaanmu: tinggalkan, tinggalkan.

When you turn from those who love you: let it go, let it go.
Kala kau menjauh dari orang-orang yang mengasihimu: tinggalkan, tinggalkan.

Don't you know God's got a plan and it's bigger than this,
Tidak tahukah kamu Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini,

It's bigger than this?
Lebih besar dari semua ini?


When you're feeling discouraged: let it go, let it go.
Saat kau merasa tawar hati: tinggalkan, tinggalkan.

Depressed or feeling worthless: let it go, let it go.
Depresi atau merasa tidak berharga: tinggalkan, tinggalkan.

When all seems hopeless and broken: let it go, let it go.
Ketika semua terasa tak ada lagi harapan dan hancur: tinggalkan, tinggalkan.

Don't you know God's got a plan and it's bigger than this,
Tidak tahukah kamu Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini,

It's bigger than this?
Lebih besar dari semua ini?


Oh, let it go, let it go, let it go, oh, let it go.
Oh, tinggalkan, tinggalkan, tinggalkan, oh tinggalkan.

Don't you know God's got a plan and it's bigger than this,
Tidak tahukah kamu Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini,

It's bigger than this?
Lebih besar dari semua ini?


If you're bitter and revengeful: let it go, let it go.
Kalau kau kepahitan dan ingin membalas dendam: tinggalkan, tinggalkan.

And the wars are raging inside you: let it go, let it go.
Dan ada perang yang berkecamuk di dalammu: tinggalkan, tinggalkan.

And when you want to lash out and be hurtful: let it go, let it go.
Dan saat kau ingin lepas kendali dan menyakiti: tinggalkan, tinggalkan.

Don't you know God's got a plan and it's bigger than this,
Tidak tahukah kamu Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini,

It's bigger than this?
Lebih besar dari semua ini?


Oh, let it go, let it go, let it go, oh, let it go.
Oh, tinggalkan, tinggalkan, tinggalkan, oh tinggalkan.

Don't you know God's got a plan and it's bigger than this,
Tidak tahukah kamu Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini,

It's bigger than this?
Lebih besar dari semua ini?


When evil and death surround you: let it go, let it go.
Kala kejahatan dan kematian menghantuimu: tinggalkan, tinggalkan. 

When you're lured by greed and power: let it go, let it go.
Kala dirimu digoda oleh keserakahan dan kekuasaan: tinggalkan, tinggalkan.

You're choosing things that can only harm you: let it go, let it go.
Kau hanya memilih hal-hal yang dapat melukaimu: tinggalkan, tinggalkan.

Don't you know God's got a plan and it's bigger than this,
Tidak tahukah kamu Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini,

It's bigger than this?
Lebih besar dari semua ini?


Oh, let it go, let it go, let it go, oh, let it go.
Oh, tinggalkan, tinggalkan, tinggalkan, oh tinggalkan.

Don't you know God's got a plan and it's bigger than this,
Tidak tahukah kamu Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini,

It's bigger than this?
Lebih besar dari semua ini?


Oh, let us prepare for a new day: yes indeed, yes indeed.
Oh, marilah kita menyongsong hari yang baru: ya benar, ya benar!

Where all are rev'renced and holy: yes indeed, yes indeed.
Di mana semua orang dihargai dan kudus: ya benar, ya benar!

Where the fragile and poor are cared for: yes indeed, yes indeed.
Di mana orang yang lemah dan miskin dipedulikan: ya benar, ya benar!

Don't you know God's got a plan and it's bigger than this,
Tidak tahukah kamu Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini,

It's bigger than this?
Lebih besar dari semua ini?


Oh, yes indeed, yes indeed, yes indeed, oh, yes indeed.
Oh, ya benar, ya benar, ya benar, oh, ya benar.

Don't you know God's got a plan and it's bigger than this,
Tidak tahukah kamu Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini,

It's bigger than this?
Lebih besar dari semua ini?


Oh, let every nation stand firm (stand on the rock and shout) shout: yes indeed.
Oh, biarlah semua bangsa berdiri tegap (berdiri di atas batu karang dan berseru) berseru: ya benar.

And get busy building up God's kingdom (kingdom!): yes, yes indeed.
Dan sibuk membangun Kerajaan Allah (kerajaan!): ya, ya benar.

Pray for peace and sing for freedom (freedom!): yes, oh, yes indeed.
Berdoa untuk damai dan bernyanyi untuk pembebasan (pembebasan!): ya, oh, ya benar.

Oh, yes indeed! God's got a plan and it's bigger than this!
Oh, ya benar! Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini,

It's bigger than this!
Lebib besar dari semua ini!


Oh, yes indeed, yes indeed, yes indeed, oh, yes indeed.
Oh, ya benar, ya benar, ya benar, oh, ya benar.

(Oh, yes indeed!) God's got a plan and it's bigger than this!
(Oh, ya benar!) Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini,

Yes indeed, yes indeed, yes indeed, oh, yes indeed.
Ya benar, ya benar, ya benar, oh ya benar.

(Oh, yes indeed!) God's got a plan and it's bigger than this!
(Oh, ya benar!) Allah punya rencana dan itu lebih besar dari semua ini!

Bigger than this!
Lebih besar dari semua ini!

–––––––––––––––––––
Lori True, Paul Tate

Senin, 18 Maret 2019

Yang Berjalan Seorang Diri



Lihatlah, Yesus berjalan seorang diri.
Ia memikul salib-Nya seorang diri.

Dengan luka dan lebam
di sekujur tubuh-Nya,
Ia melangkah sendirian.

Tidak ada orang di kiri.
Tidak ada orang di kanan.
Tidak ada Simon dari Kirene.
Tidak ada yang menangisi-Nya
atau yang melihat-Nya dari kejauhan.
Tidak ada yang berteriak-teriak tidak karuan,
“Salibkan Dia! Salibkan Dia!”

Yang ada hanya keheningan,
serta peluh dan air mata-Nya sendiri.

TIDAK!
Tidak seperti itu yang terjadi di sana!
Jalan menuju Golgota begitu ramai,
orang berdesakan di sana sini.
Riuh! Ricuh!

Simon dari Kirene ada di sana,
dan ia ikut dipaksa memikul salib.

Lalu terdengar di sana isak tangis,
di sini teriakan beringas memekakan telinga.
“Salibkan Dia! Salibkan Dia! Salibkan Dia!”

...

Tapi lihatlah,
hari-hari sekarang,

Yesus memang berjalan seorang diri.
Sepi, sendiri,
memikul salib-Nya seorang diri.

Dengan luka dan lebam
di sekujur tubuh-Nya,
Ia melangkah sendirian.

Tidak ada orang di kiri.
Tidak ada orang di kanan.

Tidak ada lagi
yang melihat akan penderitaan Yesus.
Tidak ada lagi
yang tertunduk dalam penyesalan.
Karena memandang Yesus
yang tak berdosa
tetapi menanggung hukuman
mereka yang berdosa.

Tidak ada lagi. Tidak ada lagi.

Dan tubuh yang tergantung di kayu salib,
tidak lagi mencuri perhatian segenap insan.

Dia wafat dalam hening.

...

Sementara dunia menjadi begitu ribut.
Orang-orang saling menerkam.
Satu dan yang lain tidak mau berkorban.
Satu dan yang lain saling menyerang.

Yang sana
merasa begitu suci
Yang sini
merasa sebagai yang benar.

Orang-orang hilang tersesat,
tidak lagi dalam gelap malam,
Sebaliknya dalam terang benderang
sorot mentari di terik siang.

Karena tidak ada lagi yang menjadi panutan.
Semua enggan melihat ke sana.
Dan memperhatikan jejak-jejak darah.
Dari tubuh yang terseret
di atas kerikil-kerikil tajam.

Lebih dari kekejaman atas tubuh yang lemah,
di kayu salib tampak pengorbanan yang begitu mulia.

Lebih dari murka Sang Pemilik Kehidupan,
di palang lusuh dipertontonkan kasih yang begitu agung

Ia yang Empunya Hidup
menghembuskan nafas terakhir-Nya,
supaya yang mati mampu berjejak
dalam kehidupan yang kekal.

Maukah, berjalan dekat dengan-Nya?
Dan menengadah pada Yang Tergantung

Hingga air mata yang jatuh,
mengalir bersama deras darah-Nya.

=================================================
Christnadi, di suatu Minggu Prapaska 18 Maret 2019
(ditulis ulang dengan beberapa perubahan dari prosa yang saya buat untuk liturgi Jumat Agung Komisi Remaja GKI Gunung Sahari Jakarta, 14 April 2017)

Jumat, 01 Desember 2017

Senyap


Apakah terdengar suara? Tidak
yang kudengar hanya bisik keheningan
sunyi bercerita pada sepi
hingga menghilang dalam senyap

Tidak ada lagi suara yang berteriak di padang
tidak terdengar lagi seruan yang memanggil
Air sungai Yordan mengalir deras tanpa hambatan
bahkan gemericiknya diredam sampai diam

Mereka memilih keheningan daripada gemuruh ramai
mulut yang menegur insan dikatupkan
ia yang datang dari gurun diusir pergi

Terlalu bisingkah suara itu
hingga telinga kita memerah mendengarnya?

Atau hati ini yang menebal
pikiran ini yang menggelap
dan mata ini yang berhenti
memandang surga

Ketika suara terhenti, tidak ada yang tersakiti
tetapi tanda kehidupan bukan pada kubur yang sepi
melainkan pada tangisan bayi

=================================================
Christnadi, Desember 2017
Saat menyusun renungan untuk halaman depan Warta Jemaat GKI Peterongan dengan judul: "Pertobatan yang Proaktif"

Sabtu, 18 November 2017

Silent Night


Adakah malam itu membekas dalam ingatan?
Malam yang sama seperti malam-malam sebelumnya.
Semua terlelap, malam jadi senyap.

Tak ada yang mendengar ketika seorang membuka pintu kandang,
Memberi ruang bagi ibu untuk bersalin,
Melahirkan seorang anak lelaki,
Dalam rengkuhan hangat sang ayah.

Siapa yang dengar tangisannya?
Bayi mungil itu tak kuasa memecah keheningan malam.
Suaranya lemah, hingga terdiam.

Tertidur dalam lelap,
Dibuai dalam sepi.
Dalam cinta tanpa suara.

Saat itulah malak sorga bersiap,
Merapatkan barisan dalam senyap,
Menanti saatnya menyanyikan kabar sukacita,
Bagi gembala rendah, yang dalam diam terjaga

Juga tak perlu suara menggegap,
Pada letaknya yang tetap,
Bintang misterius muncul tanpa diketahui,
Hingga para bijak menengadah untuk menyadari.

Dalam sepi, mereka yang mencari mendapat perhentian,
Dalam senyap, mereka yang rendah dikunjungi dan beroleh harapan
Dalam hening, mereka yang bijak melihat terang hikmat menyala di antara gugusan bintang-bintang

Adakah malam itu membekas dalam ingatan?
Malam yang sunyi, saat Sang Anak dilahirkan.
Sebelum semua jadi ramai:
nyanyian menggegap, derap langkah para bijak menyusuri jalan, hingga membangunkan penguasa yang lalim,

Anak Manusia hadir tanpa ada yang tahu.
Ia tersembunyi dalam wadah pakan ternak,
Saat semua terlelap dalam gelap malam.

Adakah malam itu kau rasakan saat ini?
Sebelum semua jadi gegap gempita,
Hanya ayah dan bunda yang menemaninya dalam diam.

========================================
Christnadi, November 2017, setelah perenungan yang muncul tidak disengaja saat menerjemahkan nyanyian "He is Born" bersama Yusica E. dan Masageng S. S.

Dalam pencarian untuk menemukan wajah Natal yang lain, yang kelihatannya tanpa semarak namun istimewa. Selamat menyongsong hari Natal!

Sabtu, 20 Agustus 2016

Kembali ke sana


Sudah lama,
Ya sudah lama

Hari berganti hari
Masa berganti masa
Ada yang datang, ada yang menjauh
Tak ada yang tahu siapa
Tak ada yang tahu mengapa

Sudah lama aku menghilang dari sini
Sudut ruang hati yang tenang
Hanya secercah cahaya menembus masuk

Kursi rendah menungguku di sana
Berdebu dan usang
Siapa yang ingin kembali ke sana?

Ruang hati ini sudah ramai
Arena pikiran riuh rendah
Logika bermain dalam akal
Semua beradu, membuka suara
Membuat gelanggang kehidupan makin gemuruh
Masihkah kuperlu sudut hati yang sepi itu?

Dan kulihat sekelebat bayang
Terduduk terdiam di sana
Di sudut ruang hati yang teduh
Jiwaku
Di sana
Dengan segala lelahku
Bebanku
Penatku
Rencana masa depan
Memori masa lalu
Desakan hati yang mengguncang raga
Dan jeritan yang sudah tidak lagi terdengar!

Tanpa kata
Tanpa makna
Hanya mencari ruang
Tanpa tanya
Hanya menjumpai sunyi
Memeluk senyap...


Dan Dia juga di sana
Menantiku
Dengan tangan yang terbuka
Mata Air yang meluap-luap
Mengalirkan kelegaan

...

Kembali ke sana,

Sudah lama,
Ya, sudah lama.


====================================================
Christnadi, 20 Agustus 2016

Mengintip kembali blog ini yang terhenti terisi di tahun 2015, mengisi lagi sambil mengingat setiap orang yang terbelit kesibukan, sehingga tidak memiliki waktu untuk kembali ke sana ... ke sudut hati yang teduh, untuk meletakkan setiap beban kehidupan. Karena Dia, Sang Mata Air Kehidupan, menjanjikan kelegaan :) *tetap semangat kawan!

Senin, 19 Oktober 2015

Terang untuk mata?


Aku bernaung dalam gelap
Mencoba bernafas
Berpikir
Bergerak
Mengembara di dalamnya

Kegelapan menelanku hidup-hidup
Kepalaku seperti tertusuk panah racun
Yang dilepaskan entah dari mana
Entahkah dari utara
Mungkin dari selatan
Melesat dari timur
Untuk mengarah ke barat?

Masihkah terlihat secercah cahaya itu?
Yang terangnya tidak menyilaukan
Dan memberi harapan
Untuk dapat bernafas
Berpikir
Bergerak
Berlari
Membuat loncatan hidup
Dalam semesta yang tak berujung ini

Berikan aku cahaya
Dan biarkan mataku melihat sinarnya
Akankah kunikmati itu,
jika mentari telah turun dan menghilang?

Dan cahaya-cahaya palsu itu nampak
Gemerlapnya mempesona
Seakan membuka jalan ke Firdaus
Entahlah,
Aku tak bisa melihat jelas

Konstelasi menyusun dirinya
Bintang-bintang berusaha menghiburku
Tetapi mereka tidak dapat
Tidak ada yang dapat menggantikan surya pagi!
Yang terus naik dan berkuasa atas bumi
Hingga tenggelam di ufuk barat
Menyisakan semburat ungu tersipu

Hari yang gelap
Detik bertambah makin menggelap
Tubuh terkulai lemah berusaha merengkuh memori indah
Saat mentari masih berada di balik awan-awan putih menggumpal
Saat terang itu menelusup mengisi setiap ruang kosong
Saat cahaya itu berpendar hingga menyilaukan
Apa yang kulakukan?
Kesenangan demi kesenangan yang menguap ke udara bebas
Dan hujan menyapu bersih ketika malam datang

Malam ini gelap
Mata ini menerawang mencari cahaya di tepi batas
Hingga setitik terang kecil, hangat, meneduhkan
Muncul dari ruang hati terdalam
Berpendar indah nan mempesona
Menggugah harapan
Membakar semangat
Menimbulkan gerak kehidupan

Kegelapan itu sirna
Dan jalanku terbuka lapang
Di hadapanku

***


"Terang itu menyenangkan dan melihat matahari itu baik bagi mata; 
oleh sebab itu jikalau orang panjang umurnya, biarlah ia bersukacita di dalamnya, 
tetapi hendaklah ia ingat akan hari-hari yang gelap, karena banyak jumlahnya. 
Segala sesuatu yang datang adalah kesia-siaan." 
(Pengkhotbah 11:7-8)

=============================================
Christnadi, di suatu malam di bulan Oktober 2015. Tertidur sore hari karena kurang enak badan, terbangun dalam kamar yang gelap dan kepala yang sakit. Tiba-tiba teringat kata-kata "terang itu menyenangkan dan melihat matahari itu baik bagi mata" :)

Minggu, 11 Oktober 2015

Jaka dan Puan

JAKA:

Indah senyummu
Gelak tawamu yg merdu di telingaku
Anggun caramu mengibaskan rambut panjang itu:
yang penuh semerbak wewangian
Ceriamu yang menyapa tiap jiwa yang penat
Aku ingat, aku terkenang
Semuanya tercetak jelas di bongkahan hati

Aku menyesali kebodohanku setiap kali engkau singgah di pikiranku
Menyia-nyiakan kasih sayangmu yang tulus tak bercela
Mengira kalau kau akan selalu ada
Demi egoku, aku melewatkanmu
Engkau dan sekeping hatimu
Engkau yang begitu hidup

Sekarang kusadari, kepergianmu adalah kematianku
Kau telah menjadi bagian hidupku
Ketika kau pergi, kau membawa separuh jiwaku pula
Tanpa kau ajarkanku caranya bertahan tanpa semangat yang menular dari dalam sosokmu yang memesonaku

Akulah kesalahan terbesarmu
Engkaulah penyesalan terbesarku

***
PUAN:

Kakiku sudah melangkah dan tak akan kuhentikan
Kubiarkan diri ini berjalan menjauh darimu
Bukankah memang jalan kita tak sama?
Di satu titik kita bertemu,
Tetapi kau tidak acuh padaku
Aku hanya satu
Dari banyak perempuan di sekelilingmu

Senyummu manis,
Wajahmu tampan
Tegap gagah jalanmu mempesonaku
Kata-katamu selalu berhasil meneduhkanku
Aku ingat, aku terkenang
Semuanya tersimpan dalam peti ingatanku

Hingga pada suatu hari aku tercenung
Kesadaranku membangunkanku
Aku dipukulnya hingga mataku terbuka
"Lihat pangeranmu, dia bukan milikmu"
Dan benar,
Kau berada dalam jarak,
Bahkan kau lebih peduli pada yang lain
Jadi siapakah aku?

Tidak lebih dari pecundang,
Akulah itu
Tidak lebih dari pasukan yang kalah perang,
Ditumpas telak dalam serbuan maut,
Itulah aku

Selama ini aku dibuai oleh mimpi
Diangkat tinggi dalam harap
Hingga dihempaskan jatuh ke dasar bumi,
Oleh kenyataan
Kau bukan milikku

Dan sekarang kau terbungkus dalam sesal?
Tertelan oleh kebodohanmu sendiri?
Perlukah aku peduli?
Seperti kau yang melihatku dengan ujung matamu
Ketika aku tenggelam dalam air mata
Terhisap dalam lumpur kekecewaan

Aku pernah menginginimu,
Dulu, bukan hari ini
Pintu ini sudah tertutup
Dan kubiarkan ia terbuka untuk ksatria berkuda putih
Seorang yang lain
Bukan dirimu

***
JAKA:

Harusnya aku tak menyahut
Harusnya aku tak bergeming
Harusnya aku tak membiarkan benih cinta itu bersemi
Harusnya aku tak memupuknya, menyiramnya
Harusnya aku membiarkannya mati

Hatiku kian gersang
tak lagi dihujani kasih sayangmu
Namun langit-langitnya senantiasa dipenuhi awan mendung nan gelap
tiada lagi matahari yang mencerahkannya

Hatiku kian kerontang
haus akan air yang menyegarkan
yang kau bawa bersamamu ketika engkau memutuskan untuk pergi
Namun langit-langitnya tetap muram
menanti turunnya rintik-rintik air mata penyesalan

Hatiku dilanda kekeringan begitu hebat
Menanti embun-embun yang menyejukkan lara
menanti kematianku yang lelas

Harusnya kau masih di sisiku
Harusnya genggamanmu tak kuabaikan
Harusnya aku berlari mengejar langkahmu yang menjauh
Harusnya ada yang menjadi 'kita'

***
PUAN:

Langit tak pernah begitu gelap
hingga aku melangkah jauh darimu
Anak-anak berlari-lari kecil di sekitarku
Mereka yang biasa kau sapa saat melewati jalan ini

Betapa indah hari itu
Ketika hati ini masih untukmu
Sampai di suatu titik dalam rentang waktu
Aku melihat kekalahanku

Mengapa kau kini mencariku?
Kau sebut namaku lagi
Setelah lama namaku terganti olehnya

Memang indah hari itu
Ketika hati ini bersemi mendengar suaramu
Melihat gelak tawamu, menepuk bahu lebarmu
Dan.. bersandar di dadamu

Bodohkah aku kalau kuhentikan langkahku,
Dan berbalik mencari seberkas bayang wajahmu?
Jika aku menghampirimu lagi,
Akankah kau remukkan hati ini untuk kedua kali?

Lelakiku, jangan biarkan dirimu meluruh
Melebur dalam kesedihan yang sia-sia
Diri ini juga tidak mampu melangkah lebih jauh

Aku akan kembali padamu

==========================================
Puisi kolaborasi Christnadi P. Hendartha dengan Novrianna G. Carolina Hutagalung, 11 Oktober 2015. Mencoba membuat puisi kolaborasi berbalasan, laki-laki dan perempuan, tetapi penulisnya tukar gender, Christnadi menulis sebagai PUAN dan Novrianna menulis sebagai JAKA.