Senin, 18 Maret 2019

Yang Berjalan Seorang Diri



Lihatlah, Yesus berjalan seorang diri.
Ia memikul salib-Nya seorang diri.

Dengan luka dan lebam
di sekujur tubuh-Nya,
Ia melangkah sendirian.

Tidak ada orang di kiri.
Tidak ada orang di kanan.
Tidak ada Simon dari Kirene.
Tidak ada yang menangisi-Nya
atau yang melihat-Nya dari kejauhan.
Tidak ada yang berteriak-teriak tidak karuan,
“Salibkan Dia! Salibkan Dia!”

Yang ada hanya keheningan,
serta peluh dan air mata-Nya sendiri.

TIDAK!
Tidak seperti itu yang terjadi di sana!
Jalan menuju Golgota begitu ramai,
orang berdesakan di sana sini.
Riuh! Ricuh!

Simon dari Kirene ada di sana,
dan ia ikut dipaksa memikul salib.

Lalu terdengar di sana isak tangis,
di sini teriakan beringas memekakan telinga.
“Salibkan Dia! Salibkan Dia! Salibkan Dia!”

...

Tapi lihatlah,
hari-hari sekarang,

Yesus memang berjalan seorang diri.
Sepi, sendiri,
memikul salib-Nya seorang diri.

Dengan luka dan lebam
di sekujur tubuh-Nya,
Ia melangkah sendirian.

Tidak ada orang di kiri.
Tidak ada orang di kanan.

Tidak ada lagi
yang melihat akan penderitaan Yesus.
Tidak ada lagi
yang tertunduk dalam penyesalan.
Karena memandang Yesus
yang tak berdosa
tetapi menanggung hukuman
mereka yang berdosa.

Tidak ada lagi. Tidak ada lagi.

Dan tubuh yang tergantung di kayu salib,
tidak lagi mencuri perhatian segenap insan.

Dia wafat dalam hening.

...

Sementara dunia menjadi begitu ribut.
Orang-orang saling menerkam.
Satu dan yang lain tidak mau berkorban.
Satu dan yang lain saling menyerang.

Yang sana
merasa begitu suci
Yang sini
merasa sebagai yang benar.

Orang-orang hilang tersesat,
tidak lagi dalam gelap malam,
Sebaliknya dalam terang benderang
sorot mentari di terik siang.

Karena tidak ada lagi yang menjadi panutan.
Semua enggan melihat ke sana.
Dan memperhatikan jejak-jejak darah.
Dari tubuh yang terseret
di atas kerikil-kerikil tajam.

Lebih dari kekejaman atas tubuh yang lemah,
di kayu salib tampak pengorbanan yang begitu mulia.

Lebih dari murka Sang Pemilik Kehidupan,
di palang lusuh dipertontonkan kasih yang begitu agung

Ia yang Empunya Hidup
menghembuskan nafas terakhir-Nya,
supaya yang mati mampu berjejak
dalam kehidupan yang kekal.

Maukah, berjalan dekat dengan-Nya?
Dan menengadah pada Yang Tergantung

Hingga air mata yang jatuh,
mengalir bersama deras darah-Nya.

=================================================
Christnadi, di suatu Minggu Prapaska 18 Maret 2019
(ditulis ulang dengan beberapa perubahan dari prosa yang saya buat untuk liturgi Jumat Agung Komisi Remaja GKI Gunung Sahari Jakarta, 14 April 2017)