Pagi pagi Pak Tua menunggu
Ia memegang counter di tangan
Berdiri dengan tidak sabar di pintu gereja
Seperti virus, banyak orang ikut tidak sabar
Melihat pak Tua masih terus menunggu
Ayolah! Kata temannya siap menggulung debu dari atas bangku
Jangan dulu! Hardik pak Tua
Lonceng pun bergetar mendengar pak Tua
Tak berani ia berdentang
Satu per satu kaki sudah melangkah
Beberapa wajah bermunculan
Tapi counter di tangan hanya terdiam
Empat digit angka nol belum beranjak dari tempatnya
Pak Tua masih memandang jauh-jauh
Menatap marka jalan yang terpampang jelas
Berjajar sampai di depan lampu perempatan
Koster bertanya
Apa yang kau tunggu pak Tua?
Bosku sudah hadir
Boksu juga sudah ada
Apa lagi yang kau tunggu pak Tua?
Pak Tua menjawab lirih
Ternyata ia menunggu rombongan netizen
Yang katanya siap untuk kembali
Kala pandemi sudah berakhir
Pupus sudah asa
Yang dikobarkan dalam rapat kemarin
Layaknya nabi Pak Tua bernubuat
Dalam sajak tiga baris ia berkata:
“Pandemi pergi
Situasi kembali
Kursi-kursi terisi”
Kalau semua rima berujung manis
Dapat menjadi mantra penangkal tangis
Mungkin para nakes lekas beralih profesi
jadi penyair supaya epos tak berakhir tragis
…
Pak Tua lupa
Cerita dulu kala sekolah minggu
Yang perlu dituturkan menggunakan alat peraga
Karena cerita itu bukan tentang Yusuf,
bukan tentang Yunus,
ataupun Yudas
Tapi cerita itu tentang Yeremia
Nabi yang ceritanya tak seriang kakak-kakak sekolah minggu saat bernyanyi happy ya ya ya
Kala nabi lain menata mimpi di siang bolong
Mengajak Yehuda meniti omong kosong
Yeremia menghentak,
Menghardik mereka yang bohong
Yang dengan berani
menggubah sajak yang lain
Mengubah bait demi bait sajak punya Sang Empunya
Bunyinya:
Babel pergi
Sion berpulih
Orang-orang kembali
Mendengar sajak yang baru
Dalam rima yang kurang sempurna
Yeremia hanya bisa berujar, moga-moga!
Karena Yerusalem
tak akan pernah sama lagi
Mereka yang dibawa pergi
Hanya akan dibawa pulang ke hari esok
Menyapa reruntuhan
Menjumpai Sion yang tidak berbentuk dan kosong
Dan asa melayang-layang di udara
Andai Pak Tua ingat cerita ini
Mungkin ia jadi tahu
Kalau gereja bisa jadi tidak akan kembali pada situasi yang sama
Pada kejayaan yang sama
Yang kisahnya selalu diungkit di rapat-rapat
Gereja bisa jadi sedang dibawa pulang ke hari esok
Menyapa umat yang tidak berbentuk dan kursi-kursi yang kosong
Dan sapaan gembala melayang-layang di udara
…
Lonceng gereja akhirnya berdentang
Bergema seperti bel di stasiun
Tanda kereta siap diberangkatkan
Yang pulang dan yang pergi menjejali gerbong yang sama
Satu dengan yang lain saling menyapa:
Mau pergi ke mana? Pulang!
Mau pulang ke mana? Pergi!
Dan gereja pun bergerak maju
Menuju pemberhentian berikutnya
Minggu depan kalau lonceng itu berdentang lagi,
Gereja bergerak maju selangkah lagi,
Berpulih walau tak pernah sama lagi.
Bersandar pada Yang Paling Tahu
tentang apa yang menanti di hadapan.
Kata-Nya:
Yang menanti ialah hari depan yang penuh harapan,
Karena rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera.
Di situ Pak Tua berkata, “Amin!”
---------------------------------------------------------------
— Christnadi, 7 September 2022
Puisi ini kubawakan sebagai khotbah dalam Ibadah Pembuka Persidangan XV MSW GKI Sinode Wilayah Jawa Tengah. Iseng mencoba berpuisi panjang sebagai pengganti khotbah. Alhasil khotbah dibawakan hanya dalam 5 menit saja. Mencoba gaya puisi yang lain: kalau dulu remaja menggemari gaya puisi Jenny Jusuf, lalu ditekuni ke arah yang mendayu-dayu dan mellow, sekarang terinspirasi dari gaya berpuisi Joko Pinurbo.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar