Selasa, 21 Oktober 2025

Menggereja Pasca Pandemi

 

Pagi pagi Pak Tua menunggu

Ia memegang counter di tangan

Berdiri dengan tidak sabar di pintu gereja

Seperti virus, banyak orang ikut tidak sabar

Melihat pak Tua masih terus menunggu


Ayolah! Kata temannya siap menggulung debu dari atas bangku

Jangan dulu! Hardik pak Tua

Lonceng pun bergetar mendengar pak Tua

Tak berani ia berdentang


Satu per satu kaki sudah melangkah

Beberapa wajah bermunculan

Tapi counter di tangan hanya terdiam

Empat digit angka nol belum beranjak dari tempatnya


Pak Tua masih memandang jauh-jauh

Menatap marka jalan yang terpampang jelas

Berjajar sampai di depan lampu perempatan


Koster bertanya

Apa yang kau tunggu pak Tua?

Bosku sudah hadir

Boksu juga sudah ada

Apa lagi yang kau tunggu pak Tua?


Pak Tua menjawab lirih

Ternyata ia menunggu rombongan netizen

Yang katanya siap untuk kembali

Kala pandemi sudah berakhir


Pupus sudah asa

Yang dikobarkan dalam rapat kemarin

Layaknya nabi Pak Tua bernubuat

Dalam sajak tiga baris ia berkata:


“Pandemi pergi

Situasi kembali

Kursi-kursi terisi”


Kalau semua rima berujung manis

Dapat menjadi mantra penangkal tangis

Mungkin para nakes lekas beralih profesi

jadi penyair supaya epos tak berakhir tragis



Pak Tua lupa

Cerita dulu kala sekolah minggu

Yang perlu dituturkan menggunakan alat peraga

Karena cerita itu bukan tentang Yusuf, 

bukan tentang Yunus, 

ataupun Yudas


Tapi cerita itu tentang Yeremia

Nabi yang ceritanya tak seriang kakak-kakak sekolah minggu saat bernyanyi happy ya ya ya


Kala nabi lain menata mimpi di siang bolong

Mengajak Yehuda meniti omong kosong

Yeremia menghentak,

Menghardik mereka yang bohong

Yang dengan berani 

menggubah sajak yang lain

Mengubah bait demi bait sajak punya Sang Empunya


Bunyinya:


Babel pergi

Sion berpulih

Orang-orang kembali


Mendengar sajak yang baru

Dalam rima yang kurang sempurna

Yeremia hanya bisa berujar, moga-moga!


Karena Yerusalem 

tak akan pernah sama lagi

Mereka yang dibawa pergi 

Hanya akan dibawa pulang ke hari esok

Menyapa reruntuhan

Menjumpai Sion yang tidak berbentuk dan kosong

Dan asa melayang-layang di udara


Andai Pak Tua ingat cerita ini

Mungkin ia jadi tahu

Kalau gereja bisa jadi tidak akan kembali pada situasi yang sama

Pada kejayaan yang sama

Yang kisahnya selalu diungkit di rapat-rapat


Gereja bisa jadi sedang dibawa pulang ke hari esok

Menyapa umat yang tidak berbentuk dan kursi-kursi yang kosong

Dan sapaan gembala melayang-layang di udara



Lonceng gereja akhirnya berdentang

Bergema seperti bel di stasiun

Tanda kereta siap diberangkatkan


Yang pulang dan yang pergi menjejali gerbong yang sama

Satu dengan yang lain saling menyapa:

Mau pergi ke mana? Pulang!

Mau pulang ke mana? Pergi!

Dan gereja pun bergerak maju

Menuju pemberhentian berikutnya


Minggu depan kalau lonceng itu berdentang lagi,

Gereja bergerak maju selangkah lagi,

Berpulih walau tak pernah sama lagi.


Bersandar pada Yang Paling Tahu

tentang apa yang menanti di hadapan.


Kata-Nya:

Yang menanti ialah hari depan yang penuh harapan,

Karena rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera.


Di situ Pak Tua berkata, “Amin!”


---------------------------------------------------------------

— Christnadi, 7 September 2022


Puisi ini kubawakan sebagai khotbah dalam Ibadah Pembuka Persidangan XV MSW GKI Sinode Wilayah Jawa Tengah. Iseng mencoba berpuisi panjang sebagai pengganti khotbah. Alhasil khotbah dibawakan hanya dalam 5 menit saja. Mencoba gaya puisi yang lain: kalau dulu remaja menggemari gaya puisi Jenny Jusuf, lalu ditekuni ke arah yang mendayu-dayu dan mellow, sekarang terinspirasi dari gaya berpuisi Joko Pinurbo.

Tidak ada komentar: